Minggu, 01 April 2012

Senyum Ceria

Kemiskinan mendominasi penduduk Ibukota,
di kolong jembatan, di tempat yang sama sekali tak menjamin rasa nyaman,
mereka tinggal untuk mempertahankan hidup...

kemewahan di sekelilingnya tak mampu berkontribusi terhadap deritanya,
karena sejatinya kemewahan itu hanyalah milik para pejabat negara,
tanpa ada yang peduli dengan sesamanya yang miskin lagi papa...

Ironis,
menyedihkan,
memilukan,
memalukan,
yang kaya makin berjaya,
yang miskin makin tertindas...
habis tak berbekas...

Ria masih terpekur dalam sunyi. Tak mengerti apa yang hendak ia perbuat. Kondisinya sebagai bocah yatim piatu tanpa sanak keluarga dan saudarda membuat ia harus berhadapan dengan kemelut hidup yang menyakitkan di usia yang masih sangat dini. Ria, seorang gadis belia berusia sebelas tahun. Anak seusianya sepantasnya tengah belajar di sekolah atau bermain bersama teman sebayanya. Namun tak begitu yang terjadi dengan Ria. Ria harus bekerja keras demi sesuap nasi untuk mempertahankan hidupnya.
“Ya Allah, aku bosan hidup seperti ini terus. Di mana orang tuaku ya Allah? Mengapa ia begitu tega membuangku di tempat sampah? Bang Jodi yang telah merawatku sejak kecil kini telah Engkau panggil. Lantas siapa lagi yang hendak aku turut ya Allah?” Dalam gulitanya pekat malam Ria menahan lara yang menyelubungi hatinya. Buliran bening air mata mulai lancang menggelinding di pipinya yang legam. Malam semakin meninggi, bertambah kelam. Aroma dingin yang menggigilkan tubuh tak lagi dihiraukan oleh Ria yang tengah terdiam di emperan toko. Duduk termangu meratapi nasib hidupnya.
Ya, orang-orang yang tak mempunyai tempat tinggal seperti dirinya bukan lagi merupakan pemandangan asing di kota metropolitan. Jika tidak di kolong jembatan, sudah barang pasti orang-orang yang senasib dengannya akan tinggal di emperan toko kala malam dan berkeliaran mencari penghidupan di siang hari. Entah itu penghidupan dari mengamen atau menjadi pemulung yang hasilnya tak seberapa. Apalagi untuk biaya hidup di ibukota yang semua orang tahu teramat mahal.
Ria sempat mengenyam pendidikan di Bangku Sekolah Dasar hingga kelas empat, sebelum akhirnya Bang Jodi, orang yang menanggung biaya hidupnya meninggal dalam perkelahian karena sesuatu hal. Dan semenjak kepergian Bang Jodi, Ria tidak lagi sanggup melanjutkan sekolahnya. Jika dulu untuk makan dan biaya sekolah ditanggung oleh Abang angkatnya yang berprofesi sebagai kuli panggul di pasar Senen, sebuah pasar yang cukup besar di Jakarta Selatan, pasar di mana ia biasa tinggal, sekarang ia harus menanggung hidup seorang diri. Andai saja rumah yang dulu ia tempati bersama Bang Jodi masih ada, tentunya Ria tidak mungkin akan terlunta-lunta hidup di jalanan. Meski bukan rumah gedongan layaknya para konglomerat atau pejabat, tapi setidaknya ia masih punya tempat berteduh yang membuatnya aman.
Masih teringat jelas dalam ingatannya ketika Ria mendapati bang Jodi dipukuli orang saat ia baru saja pulang dari sekolah. Bang Jodi yang juga hidup tanpa siapa-siapa kecuali Ria kini lemas tak berdaya di depan mata kepala Ria.
“Bang Jodi....!!” Ria terpekik seraya menghampiri Bang Jodi.
“Hey! Siapa kalian? Hentikan semua ini. Apa salah Abangku sehingga kalian memukulinya?” Ria terus terisak sambil mengoyak baju salah seorang dari tiga orang berperawakan tinggi besar yang tengah menghujamkan tinju ke muka Bang Jodi. Namun yang terjadi, Ria dengan badan kurusnya justru terlempar dengan hanya sekali hentakan.
“Kamu anak kecil tahu apa? Abangmu ini sudah mengingkari janjinya sehingga dia pantas mendapatkan pelajaran!!” Salah seorang dari ketiganya menghardik dengan suara menggelegar bak halilintar.
“Tapi apa salah Abangku? Kalian tak seharusnya menganiaya Bang Jodi seperti ini. Kalian bisa menyelesaikannya secara baik-baik tanpa harus membuatnya terluka.” Dengan bersimbah air mata Ria mencoba menghiba pada ketiga algojo itu.
“Hahahaha... Kau ini bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa. Jadi mending kamu pergi saja sana, mengemis di jalanan untuk mencari duit!!” Semua preman berwajah sangar itu tertawa membahana. Sementara Ria sendiri semakin teriris hatinya menyaksikan Abangnya yang sudah sangat memprihatinkan. Sejenak setelah tiga orang algojo itu pergi meninggalkan Ria dan Bang Jodi di depan rumahnya, Ria langsung menghampiri Bang Jodi. Yang membuat hati Ria semakin teriris adalah rumah tempat tinggalnya hangus dilahap api yang berkobar mengudara. Betapa tidak manusiawinya tiga orang tersebut membumihanguskan rumah mereka satu-satunya.
“Bang, bangun Bang.” Ria terisak sambil memeluk tubuh yang telah melunglai.
“Ria, Abang... Abang... Abang sudah tidak kuat lagi sayang...” Suara parau Bang Jodi nyaris tak terdengar.
“Bang Jodi nggak boleh ngomong seperti itu! Bang Jodi harus kuat. Abang nggak boleh ninggalin Ria sendirian. Kalau Abang pergi, Ria mau tinggal sama siapa Bang?” Isak tangisnya semakin nyata terdengar.
“Itu nggak mungkin Ria. Abang harus pergi. Maafkan Abang yang sudah tidak bisa lagi menjaga dan melindungimu. Jadilah kamu anak yang tegar dan tahan terhadap segala macam goncangan. Abang yakin kamu pasti mampu. Jadilah mutiara Abang yang terus berkilau menyinari dunia. Tetaplah ceria seperti namamu, Ceria.”
“Bangun Bang! Bangun!” Ria mengguncang-guncang tubuh Bang Jodi yang bersimbah darah di bagian mukanya. Namun usahanya sia-sia, karena ternyata Abang yang sangat dicintainya telah menghembuskan nafas terakhir, meninggalkan dirinya seorang untuk selama-lamanya.
“Abaaaaaaaaang...!!” Pekik Ria masih dalam kesendirian tanpa ada tetangga atau orang yang mempedulikannya.
Setelah kejadian itu Ria benar-benar mengalami beban mental yang teramat berat. Hari-harinya ia jalani hanya dengan linangan air mata. Tak seorang pun di dunia ini yang bisa ia jadikan tempat berpijak dan mengadu luka. Sampai saat ini, Ria benar-benar belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan Bang Jodi, sehingga tiga orang biadab itu tega memukulinya hingga tak bernyawa.
“Kebakaran.. Kebakaran... Kebakaran...” Ria tersentak mendengar gelegar membahana di tengah pekatnya malam. Seketika ia terbangun dari lamunan masa silamnya. Orang-orang mulai berlarian meninggalkan lokasi. Sementara Ria masih bingung apa yang harus ia perbuat. Ria limbung tanpa beranjak dari tempatnya berdiam. Si jago merah membumbung tinggi, menghanguskan tempat biasa ia tinggal selama dua tahun terakhir. Spontan setelah lokasi mulai lengang, Ria baru sadar bahwa kebakaran besar telah terjadi. Langsung saja Ria berniat menjejakkan langkahnya dari tempat tersebut. Namun tiba-tiba, kepalanya terasa teramat pening saat ia baru saja menyempurnakan berdirinya. Dan tiba-tiba, dunia terasa gelap. Ria tak sadarkan diri.
**************

“Di mana aku ini?” Perlahan Ria membuka kelopak matanya yang semula erat terpejam.
“Kamu di tempat yang aman nak. Semalam suami Ibu menemukanmu di depan onggokan bangunan yang telah hangus terbakar ketika pulang dari ronda.” Seorang wanita mengenakan kebaya muslimah yang duduk tepat di samping tempatnya berbaring menyahut dengan segurat senyuman di wajah. 
“Ibu siapa?” Nyata sekali terlukis kebingungan pada diri Ria ketika menatap wajah wanita itu.
“Panggil saja Bu Nurma nak. Kalau namamu siapa nak? Apa kamu masih mempunyai keluarga?” Tanyanya penuh kelembutan.
“Aku Ceria Bu, panggilannya Ria...” Dengan segera Ria menjawab pertanyaan wanita itu tanpa merasa canggung lagi.
“Aku sudah nggak punya siapa-siapa Bu. Abang angkatku telah pergi dua tahun yang lalu. Sedangkan orang tuaku aku tak pernah tahu keberadaan mereka. Bahkan hanya sekedar menatap sebingkai wujudnya dalam gambar pun tak pernah. Konon, kata Bang Jodi, dulu waktu aku masih bayi aku ditemukannya di tong sampah sekitar pasar Senen. Beliau adalah orang satu-satunya yang aku punya sebelum maut menjemputnya.” Ucapannya terhenti. Selaksa sekat terasa menyumbat kerongkongannya sehingga terpaksa ia harus menghentikan ucapannya. Butiran bening kembali mengalir deras membasahi matanya yang sudah sembab akibat tangisnya semalam.
“Ya sudah nak, jangan dilanjutkan lagi. Maafkan Ibu telah membuatmu sedih.” Bu Nurma mengusap rambut Ria dengan sentuhan lembutnya seraya mendekap erat tubuh Ria yang dekil dan tak terurus. Untuk pertama kalinya Ria merasakan belaian lembut seorang wanita. Dan akibatnya, angannya melambung mengkhayalkan seandainya wanita yang mendekapnya adalah Ibu kandungnya. Ah, namun semua itu terlalu mustahil menurutnya. Ibu kandungnya yang entah berada di mana pastinya tengah asyik menyelami kehidupannya yang tak pernah diketahui oleh Ria. Atau mungkin Ibu kandungnya telah lama mati karena kwalat atau juga menjadi gembel di jalanan. Entahlah. Ria tak pernah menemukan jawaban atas pertanyaan yang menggejolak dalam rongga kepalanya.
“Nggak papa Bu Nurma. Ria cuma nggak sanggup mengingat semua itu. Bolehkah aku sejenak merasakan pelukan Ibu kembali? Aku ingin merasakan dekap hangat seorang Ibu, meski Bu Nurma bukanlah Ibu kandung Ria. Tapi setidaknya pelukan Ibu sedikit menjadi penawar rinduku pada sosok seorang Ibu yang selama ini Ria harapkan.” Dengan lugunya Ria menghiba.
“Tentu saja boleh nak. Bahkan kamu boleh saja menganggap Ibu ini sebagai Ibu kandungmu, dan kamu juga boleh tinggal di sini sesuka kamu.” Sahut wanita bernama Bu Nurma sambil menarik kembali tubuh kurus Ria yang tadi sempat dilepaskan. Sementara Ria membenamkan kepalanya di dada wanita itu. Singkat cerita, Ria menjadi bagian dari keluarga Bu Nurma yang begitu menyayanginya. Wajar saja Bu Nurma teramat menyayangi sosok Ria yang cantik dan pintar. Apalagi selama ini Bu Nurma harus ikhlas menjalani perannya sebagai seorang istri yang tidak mampu memberikan keturunan untuk suaminya. Beruntung meski demikian, suaminya tersebut sangatlah bijak, sehingga selama dua puluh tahun membina rumah tangga tanpa kehadiran buah hati, mereka tetaplah keluarga yang harmonis dan hampir tak pernah terjadi pertengkaran. 
“Ria sayang, ke sini sebentar kamu nak! Ayah mau bicara.” Pak Lukman, suami Bu Nurma yang tengah duduk di teras rumah bersama istrinya memanggil Ria yang tengah asyik memberi makan ikan-ikan di kolam samping rumah.
“Iya Ayah, sebentar.” Ria menyahut seraya beranjak dari duduknya.
“Lusa kamu sekolah ya? Nanti semuanya biar Ayah yang atur!” Hatinya melonjak gembira mendengar penuturan Ayah angkatnya. Tidak lama kemudian Ria kembali bersekolah atas bantuan Pak Lukman. Hari-hari bersama orang tua angkatnya dilalui dengan penuh suka cita. Semua kesedihan yang menimpa selepas kepergian Bang Jodi kini terbayar oleh kasih sayang tulus yang dicurahkan oleh Bu Nurma dan Pak Lukman.
Namun nasib manusia siapa yang tahu. Cobaan ternyata masih belum berakhir sampai di situ. Baru sekitar dua bulan Ria masuk SMP setelah sebelumnya menamatkan Sekolah Dasar, kedua orang tua angkatnya harus meregang nyawa karena mengalami kecelakaan kereta dalam perjalaan menuju sanak keluarganya di Surabaya. Kala itu Ria juga turut serta. Beruntung Ria masih sanggup bertahan hidup. Sedangkan Bu Nurma dan Pak Lukman harus meninggalkan dunia fana karena kehabisan banyak darah akibat dari kecelakaan tersebut, sebelum keduanya sempat dilarikan ke rumah sakit.
Berhari hingga berminggu lamanya Ria kembali meratapi kesedihannya. Betapa orang yang selama ini telah banyak berjasa harus pergi secepat itu. Namun akhirnya ia sadar. Hidup adalah teka-teki yang hanya diketahui oleh Allah. Tak sepantasnya jika ia harus terus meratap dalam luka. Ia sadar bahwasanya manusia hidup itu ibarat hanya mampir sementara. Sedangkan tempat kembalinya adalah di hadapan Allah Azza Wa Jalla. Dengan tekad bulat, Ria memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan penuh senyum keceriaan, seperti nama yang diberikan oleh Bang Jodi, CERIA.
Kesedihan dan kehampaan bukan lagi menjadi pilihan yang harus ia jalani. Sekarang Ria yang dulu cengeng telah menjelma menjadi sosok yang tegar dan berani dalam menjalani hidup. Bahkan dengan beasiswa, kini Ria telah tercatat sebagai salah satu mahasiswa di sebuah universitas negeri di Semarang, kota yang ia pilih untuk melabuhkan hidupnya setelah ia memutuskan untuk membunuh sebuah nama bernama sedih dan luka yang selama ini menguasai hatinya. Sekarang Ria adalah sosok dengan sejuta talenta tanpa hambatan keterbatasan. Puluhan hingga ribuan cobaan hidup yang menghampirinya telah mengubahnya menjadi sosok yang kuat dan tegar. Sambil terus mencari identitas siapa gerangan orang tua kandungnya, Ria menjalani hidupnya dengan penuh senyuman. Karena derita dan luka sejatinya merupakan cambuk untuk menggapai hidup penuh kebahagiaan. [ ]

*******THE END*******

Purwokerto, 18 Maret 2011 on 13:14

BIODATA

Nama Chomsiyah. Mempunyai nama pena dan nama facebook Akhwatul Chomsiyah Firdausa. Beralamat di desa Panusupan, Rt 06 Rw 07, Kec. Cilongok, Kab. Banyumas 53162 Jawa Tengah. Pernah menempuh pendidikan di MI Ma'arif NU 01 Jatisaba lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 02 Purwojati dan lulus pada tahun 2007. SMA di SMA Negeri 01 Salem lulus pada tahun 2010. Sekarang tengah menempuh pendidikan di sebuah lembaga pendidikan multi profesi satu tahun El Rahma Satria Purwokerto. Penulis dapat dihubungi lewat e-mail di ukhti.chomsiyah@yahoo.com dan ac.firdausa@klikedukasi.com serta via SMS atau Telephon di nomor 085742291676. Sebagaian karyanya pernah singgah di harian lokal Radar Tegal dan di blog http://klikedukasi.com serta blog pribadinya dengan alamat http://ac-firdausa.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes